Tuesday 14 February 2017
2 hari lagi Okta akan menjalani KKN,
yaitu kegiatan rutin setiap satu tahun sekali yang wajib diikuti oleh semua
mahasiswa semester 7 di mana semua mahasiswa dari seluruh fakultas yang ada di
kampus tempat Okta kuliah akan dibagi menjadi beberapa kelompok dan tiap
kelompok terdiri dari 10 orang yang kemudian akan ditempatkan di wilayah yang
berbeda yang telah ditentukan oleh pihak kampus. Sejak pertama mendengar
istilah KKN, Okta merasa sangat benci karena yang ada di dalam bayangannya
selama ini KKN itu pasti akan dilaksanakan di tempat-tempat terpencil dan
kegiatannya pasti sangat membosankan baginya. Membosankan di sini bukan berarti
karena akan berada di wilayah terpencil, jadi dia tidak bisa bertemu dengan
sinyal dan jaringan bagus yang selama ini sudah menjadi temannya setiap hari. Tapi
itu juga menjadi alasan sih kenapa Okta benci banget sama yang namanya KKN.
Tapi ada alasan lain yang membuat Okta semakin malas mengikuti kegiatan ini.
Alasan utamanya yaitu jika dia mengikuti KKN, dia secara langsung akan
bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan dia juga pasti akan dihadapkan
pada anak-anak kecil yang tentunya sangat sulit untuk diatur. Okta memiliki
pemikiran seperti itu karena ketika libur semester, dia pernah belajar untuk
mengajar anak-anak SD di tempat mamanya mengajar yang mana anak-anak di SD
tersebut sangat bandel dan sulit sekali untuk diatur. Tapi karena itu sudah
menjadi kebijakan pihak kampus, maka mau tidak mau Okta harus mengikuti KKN itu
selama satu bulan kedepan. Betapa mengerikannya.
Hari itupun akhirnya tiba. Dengan
malas Okta pergi ke kampus sambil membawa satu tas dan satu koper yang berisi
pakaian pribadinya dan alat-alat yang mungkin dibutuhkan ketika kegiatan
berlangsung. Dengan barang bawaan sebanyak itu, Okta merasa bahwa dirinya sudah
seperti orang yang akan pindah rumah. Dia hanya tersenyum kecut melihat barang
bawaannya sebanyak itu dan membayangkan hal-hal yang menyedihkan yang mungkin
saja akan dia alami di sana nanti.
Setibanya di sana, Okta langsung
berkumpul dengan teman satu kelompoknya yang terdiri dari 5 orang anak
laki-laki dan 5 orang anak perempuan. Ternyata dia mendapat tempat yang bisa
dibilang tidak terlalu terpencil karena rumah yang mereka tempati berada di
tepi jalan raya. Setelah membereskan semua barang bawaannya, Okta dan teman
satu kelompoknya segera berkumpul ke balai desa untuk mengikuti pengarahan.
Selama kegiatan berlangsung, Okta terlihat sangat tidak semangat dan memilih
untuk tidur. Satu jam kemudian...
"Ta, bangun!!! Yee dikasih
pengarahan kok malah tidur sih.", ucap Farah seraya membangunkan Okta.
"Aku males banget nih. Makanya
aku tidur.", jawab Okta sambil menguap.
"Haduh baru hari pertama aja udah
males. Gimana besok dan lusa coba.", ucap Farah sambil menutupi mulut Okta
yang terbuka lebar.
"Nggak tau ah, Far. Atau lebih
baik aku kabur aja ya dari sini?", tanya Okta.
"Udah gila ya kamu. Nggak usah
mulai mikir yang macem-macem gitu deh, ta.", jawab Farah sambil mencubit pipi Okta.
"Aduh sakit tau. Abisnya di sini
ngebosenin sih.", jelas Okta sambil memegang pipinya yang memerah akibat
cubitan Farah.
"Terserah kamu aja deh, ta. Tapi
ingat ya kalo kamu bertindak macem-macem. Aku laporin ke ketua kelompok kamu
entar.", ancam Farah. Okta hanya diam.
Satu minggu berlalu, namun sikap Okta
masih sama seperti satu minggu lalu. Dia masih terlihat enggan mengikuti setiap
kegiatan yang dilaksanakan. Sudah puluhan kali Farah menasehatinya agar tetap
semangat untuk mengikuti setiap kegiatan yang ada. Namun Okta tetap saja tidak
memperdulikannya.
"Semangat dong, ta. Mau sampai
kapan kamu kayak gini terus?", tanya Farah.
"Sampai KKN ini selesai aku akan
tetap seperti ini.", jawab Okta ketus.
"Jangan gitu dong, Okta. Kamu
liat tuh anak-anak sekelompok kita pada semangat banget kalo lagi ada
kegiatan.", jelas Farah.
"Biarin aja. Itu kan
mereka.", jawab Okta sambil beranjak pergi. Farah hanya bisa diam melihat
sikap temannya yang satu ini.
Suatu pagi, Okta jalan-jalan pagi
sendirian untuk sekedar menghilangkan rasa bosannya. Ketika sampai di
perempatan dekat rumah pak lurah, tiba-tiba ada 2 orang laki-laki yang
menggodanya. Mereka sebenarnya hanya memanggil Okta saja, namun karena merasa
terganggu, akhirnya Okta pergi meninggalkan mereka. Sesampainya di penginapan,
Farah kaget melihat Okta datang dengan muka cemberut.
"Kamu kenapa kok dateng-dateng
mukanya udah ditekuk gitu?", tanya Farah penasaran.
"Tadi di perempatan tu aku
digodain sama cowok gitu. Mana cowoknya ada 2 lagi. Kan nyebelin banget.",
jawab Okta ketus.
"Cie cie ada yang abis
digodain nih.", ledek Farah.
"Ih kamu apaan sih, far. Temennya
abis digodain malah diledekin gini.", gerutu Okta.
"Terus aku harus gimana? Tepuk
tangan?", canda Farah.
"Ih tau ah. Kalo kayak gini
ceritanya, aku malah semakin nggak betah deh di sini. Rasanya pingin kabur
aja.", ucap Okta.
"Tuh mulai muncul lagi kan niat
jahatnya. Okta Okta. Kamu tu bener-bener ya.", imbuh Farah.
"Gimana nggak selalu muncul coba.
Masa baru seminggu di sini, aku udah digituin. Gimana minggu kedua sama minggu
ketiganya coba. Pasti lebih menyedihkan lagi.", jelas Okta.
"Jangan su'udzon gitu.",
nasehat Farah. Namun Okta malah pergi meninggalkannya.
Suatu sore Okta dan Farah diminta
untuk mengajari anak-anak mengaji di sebuah TPQ. Namun Okta menolak mengajari
mereka mengaji dan menyuruh Farah untuk mengajari mereka. Dia memilih untuk
duduk di samping pintu seraya menunggu Farah selesai mengajar mereka mengaji.
Dari kejauhan, ada seorang laki-laki yang memperhatikan Okta yang sedang duduk
di samping pintu. Setelah beberapa menit mengamati, dia baru menyadari bahwa
Okta adalah perempuan yang pernah dia goda bersama temannya ketika Okta sedang
jalan-jalan sendirian. Dia tampaknya semakin terpesona pada Okta dan mempunyai
niatan untuk ikut mengaji bersama anak-anak di situ agar bisa bertemu dengan
Okta setiap hari.
Sudah 4 hari ini Okta dan Farah
diminta untuk mengajar anak-anak mengaji setiap sore. Dan tepat pada sore ini
ketika Farah sedang mengajari anak-anak, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang
datang dan ikut bergabung bersama anak-anak. Farah kaget melihatnya. Tetapi
tidak dengan Okta. Dengan teliti dia mengamati laki-laki yang tidak asing
baginya itu. Okta kaget begitu menyadari bahwa dia adalah laki-laki yang pernah
menggodanya pagi itu.
"Far, itu tu cowok yang pernah
aku ceritain ke kamu waktu itu.", jelas Okta.
"Yang mana?", tanya Farah.
"Hih itu lho cowok yang pernah
godain aku pas aku jalan-jalan pagi.", jawab Okta.
"Masa? Enak dong kalian bisa
ketemu lagi.", canda Farah.
"Enak dari Hongkongmu tuh. Malah
gedeg aku liatnya. Mending aku pergi aja deh.", jelas Okta.
"Jangan gitu ah. Kita kan udah
dikasih tugas buat ngajar adek-adek ini ngaji.", cegah Farah. Kemudian
Farah menarik tangan Okta dan mengajaknya masuk ke dalam kelas.
Di kelas, Farah melanjutkan tugasnya
yang tadi sempat tertunda. Setelah selesai mengajari anak-anak tentang
huruf-huruf hijaiyah dan cara membacanya, kemudian dia membagi anak-anak
menjadi 2 kelompok dan meminta mereka untuk maju satu-satu untuk membaca buku
Iqro' yang sudah mereka bawa dari rumah. Kelompok pertama yang menyimak Farah
dan kelompok kedua yang menyimak Okta. Okta tersentak mendengarnya dan tanpa
banyak bicara dia langsung saja menolaknya. Namun Farah berusaha untuk
membujuknya agar dia mau membantu karena dia akan kewalahan jika menyimak 15
anak itu sendirian. Akhirnya Oktapun luluh dan mau membantu Farah. Dengan galak
Okta menyuruh anak-anak maju untuk membaca sesuai dengan urutan tempat duduk
mereka. Farah hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya lalu mengingatkannya agar
jangan terlalu galak karena yang dia hadapi adalah anak-anak kecil. Setelah
menyimak 4 anak yang membaca buku Iqro'nya, Okta baru merasakan bahwa mereka
itu gampang banget diaturnya. Nggak seperti dulu ketika dia ngajar di sekolah
mamanya. Kini dia mulai terlihat bersemangat untuk mengikuti kegiatan ini.
Ketika semua anak di kelompok kedua sudah selesai membaca, tiba-tiba laki-laki
yang pernah menggodanya itu datang kepadanya.
"Mau ngapain, mas?", tanya
Okta heran.
"Mau belajar ngaji sama
mbaknya.", jawabnya.
"Kan kamu ikut di kelompok
pertama tadi. Jadi yang nyimak ya Farah dong. Kok malah ke aku sih.", ucap
Okta ketus.
"Di kelompok satu tadi ada 2 anak
yang belum baca. Jadi pas aku liat kelompok 2 udah pada selesai bacanya, aku
milih ke sini aja deh.", jawabnya.
"Ya udah buruan baca kalo
gitu.", perintah Okta. Okta memilih untuk diam karena dia tau jika dia
terus saja berbicara, maka laki-laki itu juga pasti ada aja alasannya. Okta
memintanya untuk membaca 1 halaman saja. Namun dia menolaknya. Dia ingin
membaca 4 halaman. Mendengar keinginan laki-laki itu, Okta hanya bisa tersenyum
kecut mendengarnya. Laki-laki itu mulai membaca huruf demi huruf dan kata demi
kata yang ada di halaman itu. Dia membaca dengan terbata-bata dan sangat lama.
Hal ini membuat Okta menjadi bosan untuk menyimaknya. Setengah jam dia baru
selesai membaca satu halaman. Okta memintanya untuk berhenti membaca dan
melanjutkannya besok lagi. Namun laki-laki itu menolaknya dan ingin membaca
halaman berikutnya. Ketika mengalami kesulitan membaca dan bertanya bagaimana
cara membacanya kepada Okta, tiba-tiba Okta membentaknya.
"Kan udah aku bilang hari ini
bacanya 1 halaman aja. Udah tau bacanya belum lancar, masih ngotot mau baca 4
halaman.", bentak Okta. Setelah mendengar bentakan Okta yang cetar membahana,
tiba-tiba laki-laki itu tertunduk menangis. Bukannya menenangkannya, tapi Okta
malah memarahinya.
"Udah deh nggak usah pura-pura
nangis gitu. Aku udah sebel liatnya.", ucap Okta ketus.
"Kenapa mbak nggak mau ngajarin
aku ngaji? Kenapa mbak malah ngebentak-bentak aku? Padahal aku beneran pingin
bisa ngaji, mbak.", tanyanya dengan suara parau. Ternyata laki-laki itu
beneran nangis setelah dibentak oleh Okta. Okta kaget melihatnya.
"Ya udah aku minta maaf deh kalo
gitu. Cup cup cup. Udah dong jangan nangis gitu, sayang. Uluh-uluh nanti ilang
lho cakepnya.", bujuk Okta menenangkannya sambil memeluknya. Melihat apa
yang dilakukan Okta, Farah hanya tersenyum melihatnya. Okta sempat heran
melihat Farah yang sedang tersenyum dan kemudian menunjuk ke arah laki-laki
itu. Menyadari dirinya sedang memeluk laki-laki itu, Okta langsung saja melepas
pelukan itu dan mendorong laki-laki itu untuk menjauhinya.
"Mbaknya kok kasar gitu
sih?", tanya laki-laki itu.
"Semua itu gara-gara kamu.",
jawab Okta.
"Kok aku? Kan mbak yang peluk aku
duluan.", tukasnya.
"Tau ah. Ya udah kamu buruan
pulang sana. Entar dicariin sama mimimu.", perintah Okta. Laki-laki itu
langsung pergi meninggalkannya. Farah hanya tertawa melihat kejadian itu.
Melihat Farah yang terus saja mentertawakannya, Oktapun langsung mencubit
lengannya dan mengajaknya untuk pulang. Di sepanjang perjalanan pulang, Okta
menjelaskan kepada Farah bahwa dia refleks melakukan hal yang tadi karena dia
sudah biasa memeluk anak kecil yang sedang menangis dengan tujuan untuk
menenangkannya. Mendengar penjelasan itu, Farah semakin tidak percaya dan
menuduh Okta bahwa yang dia lakukan tadi adalah modus barunya agar dia bisa
dekat dengan laki-laki itu. Karena semakin tidak tahan mendengarkan tuduhan
Farah, Okta memilih untuk pulang duluan dan meninggalkannya.
Selama KKN di tempat itu, Okta merasa
semakin heran dengan tingkah laki-laki itu. Yang dia tau dari cerita
kakak-kakak tingkatnya yang pernah KKN yang sering mencari perhatian ke orang
yang usianya lebih tua kalo ada kegiatan semacam ini itu adalah anak-anak
kecil. Tapi ini kok malah yang cari perhatian itu orang yang usianya lebih tua
darinya. Nggak hanya sekali dua kali. Namun setiap ada kegiatan dan jika di
kegiatan itu ada Okta, laki-laki itu selalu saja menunjukkan sikapnya yang
seolah-olah mencari perhatiannya. Okta semakin pusing saja dibuatnya.
Suatu sore ketika Okta dan Farah
sedang mengajari anak-anak mengaji di TPQ, laki-laki itu datang lagi.
Sepertinya kesabaran Okta memang benar-benar diuji di tempat ini.
"Mas, kalau mau ngaji ikut kelas
sebelah aja ya. Kebetulan kelas sebelah yang ngajar temenku cowok. Di kelas ini
khusus buat adek-adek ini aja.", jelas Okta ketika laki-laki itu mau masuk
kelas.
"Nggak mau. Aku maunya belajar
ngaji sama mbak aja.", jawabnya.
"Mas nggak denger ta aku tadi
bilang apa?", tanya Okta mulai emosi. Tiba-tiba laki-laki itu tertunduk
seperti beberapa waktu lalu setelah dibentak oleh Okta.
"Ta, udah biarin aja dia ikut
kelas ini. Entar kalo nangis malah repot kitanya.", bisik Farah.
"Abisnya ni orang bikin sebel aja
sih.", jawab Okta.
"Udah kali ini kita ngalah aja.
Kita nggak lama kok di sini.", bujuk Farah. Kemudian Farah menyuruh
laki-laki itu untuk masuk kelas. Selama di dalam kelas, Okta terus
memperhatikan tingkah laki-laki itu kemudian memanggilnya dan memintanya untuk
maju ke depan membaca buku Iqro' halaman selanjutnya. Dia mengingatkan
kepadanya untuk membaca satu halaman saja. Ketika baru membaca beberapa huruf
dan kata, lagi-lagi laki-laki itu mengalami kesulitan membaca. Melihat hal ini,
rasanya Okta ingin sekali membentaknya. Tetapi dia ingat nasehat Farah yang
tadi kemudian memutuskan untuk mengajarinya pelan-pelan. Setelah dia selesai
membaca, Okta meminta anak-anak maju untuk membaca sesuai urutan tempat
duduknya. Setelah selesai mengajari mereka mengaji, Okta dan Farah mengajak
anak-anak, termasuk laki-laki itu untuk bermain. Permainan hari ini adalah
tepuk malaikat. Okta meminta 10 anak untuk maju dan membaginya menjadi 2
kelompok. Laki-laki bilang kepada Okta bahwa dia juga ingin bermain. Okta hanya
menurutinya. Kemudian Okta menjelaskan bagaimana cara mainnya dan hukuman bagi
yang kalah. Setelah semuanya mengerti, permainanpun dimulai. Sudah 15 menit
berlangsung, mereka belum ada yang kalah. Namun tak selang beberapa lama, ada
satu orang yang kalah yaitu laki-laki itu. Kemudian Okta memberinya hukuman
untuk menyebutkan nama-nama malaikat secara terbalik urutannya. Okta merasa heran
pada laki-laki itu. Sebenarnya latar belakang pendidikan agama seperti apa sih
sampai-sampai hanya disuruh untuk menyebutkan nama-nama malaikat secara
terbalik urutannya saja merasa sangat kesulitan. Begitu pikirnya.
"Namamu sebenarnya siapa sih? Aku
heran deh sama kamu.", tanya Okta geram.
"Itu namanya kak Frans,
mbak.", jawab salah seorang anak.
"Oh ternyata namamu Frans.
Rumahmu sebelah mana sih?", tanya Okta lagi.
"Dia nggak tinggal di sini, mbak.
Tapi tinggalnya di ...", jawab anak itu lagi. Belum selesai bicara, Frans
langsung menarik tangan anak itu dan mengajaknya keluar. Di luar mereka
terlihat asyik membicarakan sesuatu dan tak lama kemudian Frans mengajak anak
itu masuk kelas.
"Dek, tunggu. Kak Frans
tinggalnya di mana?", tanya Okta.
"Nggak tau aku, mbak.",
jawab anak itu sambil masuk ke dalam kelas. Okta heran melihatnya. Bagaimana
tidak yang semula dia sepertinya tau tempat tinggal Frans, tiba-tiba ketika
ditanya dia malah enggan untuk menjawabnya. Okta menduga bahwa Frans sudah mengancam
anak itu agar dia tidak memberitahukan di mana tempat tinggal Frans sebenarnya.
Hal ini membuat Okta semakin penasaran.
Selama mengajar di TPQ itu, Okta
berusaha untuk menghindari Frans dengan berbagai macam alasan. Frans agak heran
melihat sikap Okta yang tiba-tiba saja berubah drastis. Memang sih Okta selama
ini sangat membencinya. Tapi rasa benci yang Okta tunjukkan akhir-akhir ini
sangat berbeda. Karena semakin lama Okta semakin menjauhinya, maka Frans
beranikan diri untuk bertanya kepadanya.
"Kenapa sih mbak akhir-akhir ini
kok benci sama aku?", tanya Frans.
"Aku emang benci sama kamu dari
dulu.", jawab Okta.
"Tapi yang kali ini beda sama
biasanya, mbak.", imbuh Frans.
"Denger ya. Aku tu makin benci
sama kamu semenjak anak itu nggak mau ngasih tau di mana tempat tinggal kamu.
Kamu pasti ngancam dia. Iya kan.", tuduh Okta.
"Nggak. Aku nggak ngancam dia kok.
Aku cuma nggak mau aja ada orang lain yang tau tentang diriku lewat orang lain.
Aku mau mereka tau tentang aku dengan sendirinya. Tolong mbak ngerti.",
jelas Frans.
"Oke aku ngerti. Oh ya aku mau
ngasih tau sesuatu nih. 2 hari lagi masa KKNku udah selesai. Jadi aku harus
pulang.", ucap Okta.
"Kalo mbak pulang terus siapa
dong yang ngajarin aku ngaji?", tanya Frans.
"Di sini pasti ada guru ngaji
yang lebih sabar dari aku kok.", jawab Okta.
"Nggak ada. Mbak jangan
pergi.", cegah Frans.
"Nggak bisa. Aku harus pulang.
Maaf ya. Kalo ada kesempatan, kita pasti bisa ketemu lagi kok.", jelas
Okta. Frans hanya bisa terdiam.
Hari yang ditungu-tunggupun akhirnya
tiba. Okta senang karena KKNnya sudah usai dan dia bisa pulang. Namun di balik
kebahagiaan yang Okta rasakan, terselip kesedihan yang mendalam pada anak-anak
yang selama ini belajar mengaji bersamanya, termasuk Frans. Mereka terlihat
sangat berat hati untuk melepas kepergian Okta. Tapi berkat bujukan Okta,
akhirnya mereka mau mengerti bahwa Okta memang harus pulang.
Ketika dalam perjalanan pulang, Okta
melewati sebuah kantor polisi yang terletak di kecamatan tempat dia KKN. Di
depan kantor polisi itu dia melihat ada beberapa polisi yang sedang
melaksanakan apel. Okta merasa tidak asing dengan pak polisi yang memimpin apel
itu. Setelah beberapa menit diamati, Okta merasa kaget ketika melihat pak
polisi itu mirip sekali dengan Frans. Hal ini membuat Okta semakin
bertanya-tanya sebenarnya Frans itu siapa.
Beberapa minggu setelah KKN, Okta
menjalani PPL di SMK 1 selama sebulan. PPLnya selama ini berjalan lancar karena
dia berusaha untuk menikmati semua itu. Ketika pulang PPL, Okta mampir ke
sebuah mini market untuk membeli beberapa makanan ringan karena kebetulan
persediaan makanannya di kost sudah hampir habis. Ketika di kasir, tiba-tiba...
"Lho mbak Okta.", celetuk
laki-laki yang ada di sampingnya.
"Frans? Kok kamu di sini
sih?", tanya Okta heran.
"Iya. Mbak lagi belanja
ta?", tanya Frans.
"Iya nih. Soalnya stok makananku
di kost udah abis.", jelas Okta.
"Makan mulu. Makanya
gendut.", ledek Frans.
"Eh nggak ya.", elak Okta.
Setelah selesai membayar, Okta langsung pulang karena sudah tidak kuat menahan
rasa lelahnya hari ini. Sesampainya di kost, dia sangat menyesal mengapa tadi tidak
menanyakan soal pak polisi yang sedang memimpin apel di polsek itu kepada
Frans. Okta berharap semoga dia bisa bertemu dengan Frans lagi agar bisa
menanyakan hal itu.
Malam harinya ketika Okta sedang sibuk
membuat RPP untuk besok, tiba-tiba ada nomer yang tidak dikenal menelponnya.
Ketika diangkat ternyata yang menelpon adalah Frans. Frans bercerita bahwa
nomer itu dia dapat setelah beberapa minggu dia mencari tau lewat semua sosial
media yang dipakai Okta. Okta merasa salut dan bertepuk tangan setelah
mendengarnya. Karena kebetulan Frans sedang menelponnya, maka Okta menanyakan
kepadanya tentang pak polisi yang sangat mirip dengan dirinya yang waktu itu
sedang memimpin apel di polsek ketika dia pulang KKN. Bukannya menjawab, tapi
Frans malah mengajak Okta untuk ketemuan di akhir pekan nanti.
Hari ini hari Minggu. Frans mengajak
Okta ketemuan di sebuah taman kota untuk menjawab pertanyaan Okta beberapa hari
lalu sekaligus memberi tahunya beberapa
hal tentang dirinya. Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya Okta datang
juga. Okta segera menemuinya karena ingin tau sebenarnya ada apa Frans
mengajaknya untuk bertemu di sini.
"Oh ya Frans, pertanyaanku yang
kemarin gimana jawabannya?", tanya Okta.
"Pertanyaan yang mana?",
tanya Frans.
"Itu lho tentang pak polisi yang
mirip banget sama kamu. Aku salah lihat ya itu?", tanya Okta.
"Nggak. Kamu nggak salah lihat
kok. Itu emang beneran aku.", jawab Frans.
"Sumpah loe?", tanya Okta.
Frans hanya mengangguk. Kemudian dia bercerita tentang siapa sebenarnya
dirinya. Ketika Okta KKN di tempat itu, Frans sudah beberapa bulan menjabat
sebagai kapolsek di kecamatan itu. Dan tepat satu minggu setelah Okta selesai
KKN, Frans ditarik lagi ke polres sampai sekarang. Okta tercengang sekaligus
kagum mendengarnya. Bagaimana tidak dengan usia yang masih terbilang sangat
muda itu, Frans sudah pernah menjabat sebagai kapolsek. Kemudian Frans juga
bercerita tentang latar belakang pendidikan agamanya yang sangat minim itu. Hal
itu terjadi karena kerjaannya yang sangat sibuk itu membuat dirinya kurang bisa
mempelajari agama secara mendalam. Alasan lain yang membuat pengetahuan
agamanya sangat minim adalah karena dia adalah seorang muallaf. Dia sekeluarga
memutuskan untuk masuk Islam tepat setelah dia lulus SMA. Jika dihitung ya
sudah hampir 10 tahun dia memeluk agama Islam. Okta semakin kaget mendengarnya.
"Ya ampun aku minta maaf ya,
Frans. Waktu itu aku udah bentak-bentak kamu gara-gara kamu baca buku Iqro'nya
lama dan gara-gara kamu nggak bisa menyebutkan nama-nama malaikat secara
terbalik urutannya. Aku waktu itu beneran nggak tau latar belakang pendidikan
agamamu seperti apa. Jadi aku minta maaf ya.", ucap Okta penuh rasa
bersalah.
"Iya nggak apa-apa, mbak.",
jawab Frans.
"Eh udah dulu ya. Aku nggak enak
lama-lama ngobrol sama kamu.", ucap Okta sambil beranjak.
"Nggak enak kenapa, mbak? Mbak
nggak suka ta ngobrol-ngobrol sama aku?", tanya Frans.
"Entar ada yang marah.",
jawab Okta.
"Siapa yang marah?", tanya
Frans.
"Ya pacarmu lah. Siapa
lagi.", jelas Okta. Frans hanya tersenyum dan meminta Okta untuk tidak
pergi. Setelah Okta kembali, Frans mulai bercerita tentang kisah cintanya. Dulu
dia pernah menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Namun kisah cinta itu
berakhir hanya karena Frans belum bisa mengaji dan pengetahuan agamanya sangat
minim. Setiap kali Frans meminta perempuan itu untuk mengajarinya mengaji, dia
selalu menolaknya dengan alasan Frans sulit untuk diajari dan untuk memahami
apa yang diajarkan itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Akhirnya perempuan itu
memutuskan untuk meninggalkan Frans dan menyudahi hubungan itu. Karena itulah
hingga sekarang Frans memilih untuk sendiri. Namun semenjak bertemu dengan
Okta, entah bagaimana cerita Frans bisa jatuh hati padanya. Mungkin karena Okta
mau mengajarinya untuk mengaji dengan sabar, jadi akhirnya Frans jatuh hati
padanya. Okta hanya tertawa mendengarnya. Okta membantah ucapan Frans yang
mengatakan bahwa dirinya adalah perempuan yang sabar. Karena pada kenyataannya
dia adalah perempuan yang galak, gampang emosi, dan lain-lain. Namun Frans tidak
menilai Okta dari sisi itu. Dia tetap menganggap bahwa Okta adalah perempuan
yang sabar dan mau mengajarinya untuk mempelajari agama lebih dalam lagi. Frans
juga mengungkapkan keinginannya kepada Okta bahwa dia benar-benar ingin belajar.
Mendengar keseriusan Frans dalam hal ini, tiba-tiba...
"Target yang bagus nih.",
teriak Okta.
"Target bagus? Maksud kamu,
ta?", tanya Frans bingung. Kemudian Okta menceritakan tentang saran mama
yang pernah diberikan kepadanya bahwa jika dia memilih teman hidup nanti, maka
jangan memilih laki-laki yang sudah sangat pintar dalam bidang agama. Karena
jika Okta memilih tipe laki-laki seperti itu, maka ilmu yang dia dapatkan
selama ini akan percuma. Dan Okta setuju dengan saran mama. Frans heran
mendengarnya.
"Lho mama kamu kok malah ngasih
saran kek gitu sih? Bukannya kalo kamu entar nikah sama laki-laki yang pintar
dalam bidang agama, dia malah bisa ngebimbing kamu jadi istri yang baik?",
tanya Frans heran.
"Ini belum selesai ceritanya. Makanya
dengerin dulu dong.", jawab Okta. Kemudian Okta melanjutkan ceritanya.
Okta setuju dengan saran mama karena jika dia menikah dengan laki-laki yang
sudah pintar dalam bidang agama, maka dia tidak bisa mengamalkan ilmu yang
selama ini sudah dia dapatkan. Karena Okta juga memiliki prinsip yaitu menikah
sekaligus berdakwah. Dia lebih memilih laki-laki yang belum begitu paham
tentang agama namun memiliki niat yang kuat untuk mempelajarinya daripada
laki-laki yang sudah pintar dalam bidang agama. Bukan berarti Okta membenci
mereka yang sudah pintar dalam bidang agama. Namun dia juga memiliki selera
sendiri dan juga memiliki hak dalam memilih teman hidup.
"Kalo gitu aku termasuk kriteria
kamu dong? Berarti kamu juga mau dong ngajarin aku?", tanya Frans.
"Ya bisa dibilang begitu.
Kebetulan seleraku tu orang-orang yang profesinya sama kek kamu.", jawab
Okta.
"Kalo gitu aku bilang ke mamaku
ya.", ucap Frans.
"Bilang apa?", tanya Okta.
"Bilang ke mama kalo aku udah
mendapatkan targetku yaitu perempuan yang mau ngajarin aku untuk mengaji dan
mempelajari agama lebih dalam lagi. Sekalian aku bilang kalo aku juga udah
menemukan calon teman hidupku.", jawab Frans.
"Teman hidup apaan sih? Aku kan
masih kuliah. PPL aja belum selesai. Skripsi apalagi.", jelas Okta.
"Ya tinggal ditunggu sampek
selesai apa susahnya. Yang penting kamu mau kan?", tanya Frans. Okta
mengangguk. Frans merasa bahagia atas jawaban Okta karena itu artinya dia sudah
menemukan perempuan yang mau mengajakya untuk mendalami dan mempelajari ilmu
agama.
;;
Subscribe to:
Posts (Atom)